Dalam sesi berbagi pengalamannya, Lalu menceritakan kehidupannya sebagai seorang hafizh Al-Quran, yang dimulainya sejak masa SD.

Lalu Masysyath Nawawi Makmun lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang penuh kecintaan terhadap Al-Quran.

Lalu mengungkapkan bahwa ayahnya telah menjadi pemandu pertama dalam menghafal Al-Quran.

Benih-benih cinta dan kecintaan kepada Al-Quran ditanamkan oleh ibunya.

“Sudah menghafalkan Al-Quran sejak 6 SD.Diarahkan oleh orang tua terutama ayah dan benih dalam menghafal Al-Quran dari Ibu,” ungkap Lalu.

Ia menegaskan bahwa awal dirinya menjadi penghafal Al-Quran tidak hanya bersumber dari arahan ayahnya saja, namun juga dari niat tulus dan dukungan dari sang ibu.

Sebagai seorang hafizh Al-Quran, Lalu sering kali menghadapi tantangan yang membuat hafalan Al-Qurannya menjadi goyah, salah satu tantangannya adalah rasa malas,.

Menurutnya, malas merupakan hal yang sangat manusiawi.

“Menurut saya ada rasa malas saat menghafal Al-Quran adalah sesuatu yang wajar, apalagi mengulang sesuatu yang sama”, ujarnya.

Mengatasi rasa malas tersebut, Lalu memiliki caranya sendiri yaitu dengan mentadaburi hafalan sebagai tanggung jawab yang harus dipegang dan mengamalkan isi dari Al-Quran.

“Mengatasi agar saya tidak malas dalam mengulang hafalan yaitu dengan mentadaburi bahwa hafalan Al-Quran adalah tanggung jawab yang harus dipegang dan mengamalkan isi Al-Quran,”ungkap Lalu

Selain itu terdapat juga tantangan lainnya dalam menghafal Al-Quran, yaitu memiliki sifat riya.

Terutama, bagi mereka yang memiliki suara yang merdu dan melibatkan diri dalam pembacaan publik.

“Selain malas dalam menghafal Al-Quran ada beberapa tantangan lain dalam menghafal Al-Quran yaitu riya apalagi memperoleh suara yang bagus,” tambahnya.

Dalam hal ini, Lalu menegaskan pentingnya menjaga niat ikhlas dalam menghafal dan membaca Al-Quran. Ia mengajak para penghafal untuk selalu memeriksa dan memurnikan niat, menjadikan setiap langkah sebagai ibadah semata.

Dengan kearifan dan wawasan yang dimilikinya, Lalu membuktikan bahwa perjalanan menghafal Al-Quran bukan hanya sekadar pencapaian akademis, tetapi juga sebuah perjalanan spiritual yang memerlukan ketekunan, kesabaran, dan keikhlasan.

Sebagai pembina tahfizhpreneur di Institut Tazkia, Lalu terus memberikan inspirasi dan bimbingan kepada para mahasiswa, mendorong mereka untuk menggali potensi dan meningkatkan kualitas spiritual melalui penghafalan Al-Quran.